DISCLAIMER: Ini adalah fanfic crossover cerpen The Lottery dari Shirley Jackson dan serial Kepak Sayap dari SnowDrop. Sebagian besar banyak terjemahan kasar dari The Lottery versi aslinya, sih... ._. beberapa typo udah diperbaiki --v
Tanggal 27
Juni. Pagi yang cukup cerah menandakan cerianya liburan musim panas. Dalam
cuaca yang baik itu para penduduk desa pun mulai berkumpul di lapangan. Dimulai
dengan anak-anak yang terlihat sedang bermain disana. Mereka mengambil banyak
batu---baik yang berukuran kecil maupun besar---sambil sesekali mengobrol
tentang kelas, guru, buku, dan hal lainnya yang berhubungan dengan sekolah.
Bobby Martin, Harry Jones, Dickie Delacroix---para warga menyebutnya
"Dellacroy"---dan beberapa anak lain, mengumpulkan batu-batu tersebut
di sudut lapangan. Anak-anak perempuan asyik berbincang-bincang di pinggir
lapangan, sementara anak-anak yang lebih kecil berpegangan pada tangan
kakak-kakaknya.
Sebuah tradisi
yang telah dilaksanakan turun-temurun di desa ini akan diadakan pada pukul
sepuluh. Mereka menyebutnya The Lottery.
Kegiatan tersebut hanya akan berlangsung sekitar 1 atau 2 jam karena jumlah
penduduk di desa ini lebih sedikit dibandingkan desa-desa tetangga. Para
orangtua pun mulai memasuki lapangan. Bapak-bapak berkumpul lebih dulu daripada
ibu-ibu. Mereka mengobrol tentang pajak dan pekerjaan sambil diselingi gurauan
yang membuat mereka sesekali tersenyum simpul. Kemudian para ibu saling menyapa
dan bertukar gosip satu sama lain sebelum akhirnya mereka memanggil
anak-anaknya untuk berkumpul.
Pak Summers
adalah orang yang memimpin pelaksanaan The Lottery. Orang ini juga yang
mengelola pelaksanaan acara Halloween
di desa. Dia datang membawa sebuah kotak hitam tua yang terbuat dari kayu. Di
belakangnya terlihat Pak Graves membawa penyangga kotaknya. Sepertinya acaranya
akan segera dimulai. Mungkin aku juga sebaiknya bersiap-siap.
Aku yang sedari
tadi duduk di atap rumah segera turun ke bawah. Meskipun bukan penduduk desa ini---yang
berarti tidak harus ikut berpartisipasi dalam kegiatan ini---aku tetap berdiri
di belakang kerumunan, menonton. Lagipula, orang-orang ini tidak terlihat
keberatan dengan hal itu.
“Yak, angkat
kotaknya ke atas penyangga,” perintah Pak Summers. Kemudian Pak Dunbar, yang
tahun lalu tidak bisa hadir karena kakinya yang patah, maju ke depan dan
mengangkat kotak itu bersama anak laki-lakinya, Horace. Setelah kotak hitam itu
ditempatkan pada penyangganya, Pak Summers berkata, “Baiklah, dengan ini
acaranya bisa segera dimulai.”
Beberapa bagian
tradisi ini sudah mulai terlupakan oleh penduduk desa. Sebelumnya ada semacam
nyanyian tertentu yang dinyanyikan sebelum kegiatan dimulai. Warna kotak hitam yang
digunakan juga telah memudar. Kabarnya kotak tersebut dibuat dari bagian kotak
pertama, yang dibuat oleh para leluhur pendiri desa ini. Tempat penyimpanan
kotak itu juga berpindah-pindah dari tahun ke tahun. Kadang disimpan di kantor
pos, di toko Pak Martin, atau di kandang ternak Pak Graves. Hampir setiap tahun
Pak Summers selalu menyarankan untuk mengganti kotak hitam itu dengan yang
baru. Namun, tidak ada seorangpun di desa yang ingin macam-macam dengan
tradisi, sehingga kotak itu tetap digunakan sampai sekarang.
Kemarin malam
Pak Summers dan Pak Graves membuat potongan-potongan kertas berisi nama-nama kepala
keluarga yang ada di desa, beserta nama-nama setiap anggota keluarganya.
Setelah jadi, kertas-kertas tersebut diamankan dengan cara dikunci di
perusahaan batu bara yang dikelola Pak Summers. Dulu mereka menggunakan
potongan kayu yang dimasukan ke dalam kotak untuk mengundi. Tetapi karena
penduduk desa semakin banyak, Pak Summers menyarankan agar menggunakan potongan
kertas. Kemudian mereka menyetujuinya walaupun dengan sedikit keraguan pada
awalnya.
Sebagai
pendahuluan, Pak Summers memberikan semacam kata sambutan pada para penduduk. Penampilannya
sangat baik dalam hal ini; dengan kemeja putihnya yang bersih dan celana jeans
biru, dia menyandarkan lengannya ke kotak hitam dengan santai. Setelah Pak
Summers selesai berbicara, Pak Graves mempersiapkan kotak yang telah diisi
dengan potongan-potongan kertas.
“Nah, langsung
saja kita mulai. Mari kita selesaikan dengan cepat agar kita bisa kembali
bekerja. Apa ada yang belum datang?” ujar Pak Summers.
Ada banyak
suara tidak jelas yang berasal dari kerumunan warga. Seorang pria mulai
berbicara dengan lantang. “Sepertinya semua sudah ada disini, Pak,” jawab Pak
Martin.
“Apa Kakek
Warner ada?”
“Hadir!” jawab Kakek
Warner dengan suara yang agak parau. Tidak heran. Dia adalah orang paling tua
di desa ini.
“Bagaimana
dengan anak dari keluarga Watson?” tanya Pak Summers.
Seorang remaja
laki-laki berbadan tinggi dari kerumunan menjawab, “Hadir.” Dia menjawab dengan
menundukkan kepalanya. “Tenang saja, Jack. Tahun lalu juga kau sudah pernah melakukannya,
‘kan? kata seseorang di sampingnya. Dia adalah Leonidas –mereka biasa
memanggilnya hanya dengan “Leon” saja. Umurnya lebih tua dari Jack. Mungkin
bisa dibilang dia laki-laki yang cukup
matang. Namun, Jack tidak menjawab dan hanya menundukkan kepalanya.
“Semua siap?”
ujarnya. “Sekarang saya akan memanggil nama-nama keluarga yang ada. Kemudian
para kepala keluarga atau perwakilannya maju untuk mengambil kertasnya. Tetap
biarkan kertasnya terlipat dan jangan dibuka sebelum semuanya mendapat kertas.
Jelas?” Para warga sudah melakukan ini berkali-kali sehingga mereka hanya
setengah menyimak arahan dari Pak Summers. Melihat reaksi para warga yang
kebanyakan hanya diam itu, Pak Summers mulai memanggil, "Adams." Pak
Adams pun maju ke depan untuk menarik kertas dari dalam kotak.
“Allen,"
panggil Pak Summers lagi.
"Anderson....
Bentham."
"Clark....
Delacroix..."
"Dunbar."
"Harburt....
Hutchinson... Jones," masing-masing kepala keluarga segera maju ke depan
saat nama keluarganya disebut. Biasanya yang menjadi perwakilan setiap keluarga
untuk mengambil kertas undian itu memang kepala keluarga, yaitu sang suami.
Namun, jika kepala keluarga tidak ada, anak laki-laki yang sudah cukup umur
yang menjadi perwakilan. Jika keluarga yang bersangkutan tidak mempunyai anak
atau hanya mempunyai anak yang di belum cukup umur, maka sang istri yang
menjadi perwakilannya.
Ada satu kertas
yang diberi tanda khusus di antara kertas-kertas yang telah dimasukkan ke kotak
hitam tadi. Jika seorang perwakilan keluarga mendapatkan kertas tersebut, maka
potongan-potongan kertas baru sejumlah anggota keluarga yang bersangkutan
dimasukan ke dalam kotak. Dengan ini hanya anggota keluarga tersebut yang
mempunyai peluang untuk mendapat undian. Kemudian masing-masing anggota
keluarga secara bergiliran menarik kertas-kertas tersebut dari dalam kotak.
Anggota keluarga yang mengambil kertas bertanda khususlah yang mendapatkan
undiannya.
“Lanovice,” tidak
ada yang maju ke depan. Orang-orang di kerumunan menoleh mencari dimana Nona
Lanovice ini. Seorang gadis remaja mungil bernama Sephiria berusaha mengangkat
tangannya tinggi-tinggi. Dia kemudian berkata, “Nathalie tadi pamit padaku.
Katanya dia lupa belum mengunci pintu, Pak. Dia akan segera kembali.”
“Hah, gadis
itu... kapan sih penyakit cerobohnya itu sembuh...” Leon menghela nafas sambil
menyilangkan tangan. Leonidas dan Nathalie Lanovice adalah teman dekat sejak
kecil. Mereka berdua tidak memiliki keluarga. Karena itulah mereka sendiri yang
mengambil kertas undiannya.
“Baiklah, kalau
begitu kita lewat saja dulu Nona Lanovice, selanjutnya...” Pak Summers membuka
lembaran baru daftar nama yang dipegangnya.
“Leonidas.”
Leon menelan ludah. Dia terlihat sedikit menyeringai sambil menggertakkan
giginya. Namun, dengan langkah yang mantap, dia maju ke depan, menarik kertas
dari dalam kotak hitam itu.
Setelah Leon
kembali ke kerumunan, dia berpapasan dengan Nathalie yang baru saja kembali. “Kau
agak terlambat rupanya, Nona,” cibir Leon. Nathalie balas mencibir Leon, “Setidaknya
aku datang lebih awal darimu tadi pagi. Dasar tukang tidur,” Leon pun berdecak
kesal, “Ck. Dasar wanita.” Walaupun kelihatannya begitu, hubungan Leon dan
Nathalie sebenarnya sangat dekat. Bahkan sempat tersebar gosip di antara
ibu-ibu yang ada di desa bahwa mereka berdua berpacaran.
"Martin."
Bobby Martin memandangi ayahnya yang maju ke depan. "Overdyke.... Percy."
Setelah Pak Percy dipanggil, Pak Summers memanggil namanya sendiri, melangkah
ke depan, dan mengambil potongan kertas dari dalam kotak. Kemudian dia
melanjutkan memanggil nama selanjutnya, "Warner."
Kakek Warner
berjalan dengan bantuan tongkatnya sambil bergumam, “Dengan ini sudah 78
tahun,” dia mengambil kertas dari kotak, “Berarti sudah 78 kali. Pak Adams
bilang desa-desa sekitar sudah tidak lagi mengadakan ini. Orang-orang yang
menghentikan tradisi ini adalah orang-orang bodoh.”
"Watson,"
Jack maju ke depan dengan gugup. Pak Summers berkata, “Santai saja, Nak. Ayo
ambil kertasnya.” Jack terlihat ragu. Dia terdiam agak lama sampai akhirnya mengambil
kertasnya.
"Zanini."
Setelah itu,
keadaan di tempat itu pun hening, seakan-akan semua orang menahan nafasnya,
sampai Pak Summers mengangkat kertasnya ke atas dan berkata, “Baiklah, sekarang
kita buka kertasnya.” Untuk sesaat, tidak ada yang bergerak, lalu semua orang
membuka kertasnya masing-masing. Mereka mulai bertanya-tanya, “Siapa?,” “Siapa
yang dapat?,” “Apa keluarga Hutchinson?,” “Keluarga Adams?,” Lalu orang-orang
di sekitar Nathalie mulai bersuara, “Lanovice, Nona Lanovice yang
mendapatkannya!”
Mata
orang-orang yang ada di kerumunan mulai tertuju pada Nathalie. Nathalie sendiri
hanya berdiri disana, terdiam sambil memandangi kertas di tangannya. Sebuah
titik hitam besar tertera di kertas yang telah terbuka itu.
Mata Leon
terbelalak, dia mulai berteriak, “I-Ini tidak adil! Hei, aku yang seharusnya
mendapatkan itu!”
“Kita semua
mempunyai peluang yang sama, Leon.” kata Hosea Adams, anak Pak Adams itu angkat
bicara.
Leon
bersikukuh, “Tidak, ini benar-benar tidak adil. Ayo kita ulangi lagi. Dia
terlambat mengambil undian karena kembali ke rumahnya. Jika dia tidak kembali
ke rumahnya, aku yang seharusnya...”
“Itu sama
dengan yang dikatakan Nyonya Hutchinson tahun lalu. Lagipula, terlambat atau
tidak, itu tidak ada hubungannya. Sekarang mundurlah anak muda,” sela Kakek
Warner.
Pak Graves dan
Pak Adams tiba-tiba menyergap Leon dari belakang. Leon memberontak, “Sial,
lepaskan!” Para warga kemudian membantu Pak Graves dan Pak Adams mengamankan
Leon. Mereka membawa Leon menjauh dari kerumunan.
“Nathalie...
tahun ini juga wanita, ya.” Aku bergumam sambil melihat sebuah nama yang
tertulis di sepucuk daun yang kupegang.
Walaupun ritual
asli dari tradisi ini sudah banyak yang terlupakan, tetapi para penduduk masih
ingat untuk menggunakan batu. Mereka mengambil batu yang dikumpulkan anak-anak
tadi. Potongan-potongan kertas yang tadi mereka pegang pun dibuang, digantikan
dengan batu. Anak-anak pun sudah siap dengan batu-batu dan kerikil mereka.
“Ayo!” Mereka berseru, “Cepat!” Kakek Warner mulai berteriak, “Ayo, ayo
semuanya!” Dia membawa batu-batu kecil.
“Baiklah,
semuanya. Mari kita selesaikan dengan cepat,” kata Pak Summers.
“30 detik
lagi,” aku mulai berjalan menembus kerumunan manusia itu. Derap langkahku seakan
bertautan dengan mulutku yang mulai menghitung mundur, “29... 28... 27...”
“Tidak!
Kumohon, hentikan!” jerit Nathalie. Para warga mulai mendekatinya dan
melemparinya dengan batu. Hosea Adams terlihat berada di jajaran paling depan. Sementara
itu, Leon masih terduduk di belakang. Pak Graves mengambil sebuah batu berukuran
besar. Dia membawanya tanpa kesulitan dan menghampiri Leon, “Ini,” katanya.
“13... 12...
11...” aku melanjutkan menghitung.
Sayap hitam
yang dari tadi terbentang di punggungku memancarkan cahaya. Dalam sekejap aku
telah berada di dekat Nathalie. Batu-batu itu tidak dapat menyentuhku. Mereka
hanya menembus tubuhku dan mendarat keras pada Nathalie, seperti yang
seharusnya. Sabit besar muncul di kedua tanganku. Kubentangkan sayap hitamku lebih
lebar dari sebelumnya dan bersiap-siap mengayunkan sabitku.
“3... 2... 1...
0.”
Sebuah batu
besar menghantam kepala Nathalie, membuatnya tewas seketika.
0 respon: