Hello, folks! Jadi kemaren-kemaren ada temen yang minta tolong nerjemahin suatu bab dari sebuah jurnal random tentang ekonomi. Sekarang belum selesai semuanya sih, belum (dan mungkin ga akan) di-proof-read juga. Seperti inilah hasilnya --)/
Nilai Manusia dan Keuntungan Ekonomi dari Pendidikan
Nilai manusia
kepada sebuah bangsa dibuktikan secara historis dengan kekuatan fisik menguasai
tentara, baik pada zaman dahulu maupun zaman modern. Dalam bentuk yang paling
kasar, nilai manusia dikenali sebagai sebuah perlakuan manusia sebagai barang
dalam perdagangan budak selama berabad-abad. Nilai manusia sangat ditentukan oleh kekuatan
fisik daripada kapasitas mental.
Penilaian manusia dan pemekerjaan manusia telah membentuk pasar, baik itu
disediakan oleh penguasa, pekerja, maupun budak. Nilai pasar manusia berubah
dengan pesat dengan fluktuasi dalam hal persediaan pekerja; seperti yang
diamati Tuchman, penurunan populasi yang disebabkan oleh rabies tikus di abad
ke-14 menimbulkan keyakinan bahwa nilai individu terlihat pada peningkatan gaji
yang mempengaruhi perdagangan selama berabad-abad.
Selama era ini, penilaian
didasarkan pada produktifitas fisik. Menurut metode penilaian manusia ini,
bangsa yang mempunyai populasi paling banyak mempunyai nilai sumber daya
manusia tang besar pula. Kelemahan pendekatan ini muncul di abad ke-19 dan 20,
karena kekuatan pekerja dunia menjadi tidak intensif secara fisik, melainkan
secara kecerdasan. Negara yang mempunyai populasi paling besar tidak selalu
paling produktif atau berpengaruh. Jika jumlah yang banyak menjadi alat ukur
nilai, maka negara Inggris akan bergantung kepada negara India.
Tidak sampai tahun 1960-an
kebangkitan nilai maunsia sesungguhnya terjadi. Dibimbing oleh Theodore W.
Schultz, yang memenangkan hadiah Nobel Ilmu Ekonomi, para pakar ekonomi dan pendidikan
mulai menyadari keuntungan ekonomi manusia dalam proses produksi dan mulai
mencari cara untuk mengukur besaran nilai manusia. Ini bukan berarti ilmu
pengetahuan manusia belum pernah diukur sebelumnya, melainkan adalah hal yang
benar bahwa tidak ada usaha secara ekonomi untuk mengukur nilai manusia. Pakar
ekonomi Petty mengamati “bahwa nilai umat manusia berharga dua puluh kali lipat
gaji tahunan pekerja,” namun setimasi
Petty tidak terbukti secara empiris. Meski begitu, dia menyadari bahwa pengukuran
nilai manusia yang dia buat tidak akurat dan cenderung rentan masalah
kerdibilitas akademik.
Pandangan Ekonimi Klasikal
Pemahaman pakar ekonomi terdahulu mengenai masalah ini tercermin dalam hal
apakah mereka mengenali manusia dalam definisi keseluruhan kekayaannya. John
Stuart Mill, cintohnya, tidak mendefinisikan kekayaan sebagai termasuk nilai manusia. Dia
mengatakan: “Dalam hal klasifikasi kepemilikan, bagaimanapun, masyarakat dari
sebuah negara tidak terhitung dalam kekayaan negara... Mereka sendiri bukanlah
kekayaan, walaupun mereka pandai dalam mendapatkan kekayaan.” Sementara itu,
Adam Smith pada tahun 1776 memasukan nilai manusia dalam definisi kekayaan
tetapnya, dengan mengatakan bahwa kekayaan manusia berisi, “kemampuan
bermanfaat yang diperoleh dari semua anggota penduduk masyarakat. Perolehan
bakat dengan pemeliharaanpemeroleh selama mengenyam pendidikan , selalu
menghabiskan biaya, yang merupakan kekayaan tetap yang disadari dalam orang itu
sendiri.” Namun, Smith tidak pernah benar-benar menghubungkan fungsi pendidikan
pada perkembangan potensi manusia maupun berusaha mengukurnya. Pada dasarnya,
Smith tidak dapat berpendapat pada manusia dalam istilah manapun kecuali
sebagai “mesin mahal”, sebuah posisi yang melekat secara berdasar oleh pakar
ekonomi Cambridge, Alfred Marshall. Marshall, pakar ekonomi bergengsi,
menyatakan bahwa sementara manusia termasuk kekayaan dari sudut pandang
abstrak, adalah hal yang sulit jika memasukkan mereka sebagai elemen untuk
mengukur investasi dan perkembangan sebuah negara.
Menariknya, beberapa orang
terdahulu dalam bidang pendidikan maupun ekonomi sudah menyediakan dasar
penelitian Schultz dan pakar-pakar tahun 60-an melebihi ekonomi politik yang
dikemukakan Marshall dan Smith. Marshall dan Smith sama-sama menyadari bahwa
pelatihan dan pengalaman meningkatkan produktifitas pekerja, tetapi sepertinya
keduanya tidak menyadari bahwa peningkatan keseluruhan pengetahuan manusia, di
samping keahlian yang berhubungan langsung dengan produksi, dapat menimbulkan dampak
yang besar pada ekonomi sebuah bangsa.
Kelemahan dari sudut pandang
sempit ini ditemukan oleh sedikit pakar
ekonomi dan pendidikan lebih dari 100 tahun lalu saat sekolah publik negara ini
masih belum berkembang. Sebenarnya, Horace Mann dalam laporan pendidikannya
pada tahun 1848 mengatakan
“...Pendapat kita tentang
pendidikan adalah mesin besar tempat bahan mentah alami manusia dapat diubah
menjadi penemu dan pembaharu, menjadi tukang sayur handal dan petani ilmiah,
menjadi pelajar dan hakim, menjadi pendiri institusi bermanfaat, dan para
penggagas ilmu teologi dan etika. Dengan izin pendidikan terdahulu,
embrio-embrio bakat ini dapat dipercepat, sehingga akan memecahkan masalah
hukum dan politik yang sulit.”
Mann menyerang
pemikiran filosofis Smith dan yang lainnya yang pendapat ekonomi politiknya
tidak mampu menyadari kondisi pekerja-pekerja miskin tak terdidik di Revolusi
Industri dan menunjukkan bahwa kekayaan
sejati sebuah bangsa terletak pada intelejensi masyarakatnya. Mengenai hal ini
Mann mengatakan,
“Dalam pembentukkan kekayaan, lalu---untuk eksistensi kekayaan masyarakat
dan bangsa yang sejahtera----kecerdasan adalah syarat yang besar. Jumlah
pembaharu akan meningkat, sebagai konstituensi intelektual, boleh dibilang,
meningkat. Pada zaman dahulu, dan di kebanyakan bagian dunia bahkan saat ini,
tidak ada seorangpun yang memiliki perkembangan seperti itu. Yang
memungkinkannya menjadi kontributor seni atau ilmu pengetahuan. Jika
perkembangan ini berlanjut, kontribusi, nilai tak berangka dan tak terukur,
akan mengikuti. Politik Ekonomi tersebut sibuk akan uang dan pekerjaan,
persediaan dan permintaan, bungan dan sewa, keseimbangan perdagangan; tetapi
meninggalkan elemen perkembangan yang tersebar, tidak lain hanyalah kebodohan
yang luar biasa mengejutkan. Seni ekonomi politik yang paling besar adalah
untuk merubah seorang konsumen menjadi
produsen-------sebuah hasil yang secara langsung diperoleh, dengan meningkatkan
kecerdasan.”
Dengan beberapa pengecualian, persepsi Mann pada pandangan pakar ekonomi
politik abad 19 memang akurat untuk niat mereka yang dihabiskan hampir
seluruhnya pada hal yang berhubungan pada kekayaan fisik dan sedikit jika bisnis
diarahakn kepada nilai kekayaan manusia. Lembar keseimbangan pakar ekonomi
politik tidak memasukkan masukan untuk persediaan potensi manusia atau
kekurangannya.
Sebuah pengecualian terhadap tren umum pemikiran ekonomi telihat dari
seorang pakar ekonomi Von Thunen, yang, satu dekade setelah laporan Mann,
menunjukkan pentingnya menghitung manusia sebagai bagian dari kekayaan sebuah
bangsa. Dia berkata:
“Tidak diragukan lagi mengenai jawaban dari pertanyaan yang sangat
kontroversional tentang apakah barang non-material (jasa) manusia membentuk
bagian kekayaan nasional atau tidak. Karena bangsa yang sangat terdidik, dilengkapi
dengan barang material yang sama, menghasilakan pendapatan lebih besar daripada
masyarakat tak terdidik, dan karena pendidikan yang lebih tinggi hanya bisa
diperoleh melalui proses pendidikan yang membutuhkan konsumsi barang material
yang lebih besar, bangsa yang lebih terdidik juga memiliki kekayaan lebih
besar, penggantinya ditunjukkan oleh produk yang lebih besar dari hasil
pekerjaannya.”
Di samping Mann dan Von Thunen, hanya penemuan sporadis yang diberikan
dalam literatur sampai Schultz mengukur nilai kekayaan manusia di tahun 1961.
Apa hubungannya ekonomi sama Iron Man? Ngga ada. Yaudah sih. |
0 respon: